JAKARTAVIEW.ID, JAKARTA – Tepat 11 Maret pada tahun 1966, Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) lahir.
Namun, sampai saat ini tetap saja perihal surat itu masih diselubungi oleh banyak kontroversi.
Ada tiga kontroversi di seputar Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tersebut, yaitu teks, proses mendapatkan surat itu, dan interpretasi perintah yang terdapat dalam surat tersebut.
Dilansir dari Historia.id, sejarawan Asvi Warman Adam, naskah otentik Supersemar sampai sekarang belum diketahui dimana keberadaannya.

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) diketahui menyimpan tiga versi Supersemar.
Namun, setelah dilakukan iuji laboratorium forensik oleh Mabes Polri, semuanya tidak otentik atau bisa dibilang palsu.
Meski kedemian, Naska itu tetap disimpan sebagai pembanding jika suatu saat nanti naskah otentik Supersemar berhasil telah ditemukan.
Baca Juga:
- Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak
- Tol Ruas Pondok Aren – Serpong Kilometer 10 Resmi Beroperasi
- Mulai Tanggal 1 Oktober, Tarif Promo LRT Jabodebek Jarak Maksimal Rp 20.000
- Gara-Gara Tidak Pakai Ciput Belasan Rambut Siswi SMP di Lamongan Dicukur Pitak Guru
- Mengintip JPM Dukuh Atas yang Menghubungkan LRT Jabodebek dan KRL ada Tempat Kuliner nya Juga
Supersemar, menurut penuturan dari Asvi, diperoleh dengan cara tekanan. Hal tersebut bisa terlihat dari upaya sebelumnya melalui Hasjim Ning dan Dasaad, dua pengusaha yang dekat dengan Sukarno, yang menemui Sukarno dengan membawa sepucuk surat dari Soeharto.
Mereka meminta Sukarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Sukarno marah dan sempat melempar asbak sambil mengatakan, “Kamu sudah pro-Soeharto!.”
Setelah misi kedua pengusaha itu tetap gagal, pada 11 Maret, tiga jenderal, Basuki Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud, menemui Sukarno di Istana Bogor. ketiga jenderal itulah yang membawa Supersemar dan menyerahkannya kepada Soeharto di markas Kostrad.
“Mayor Jenderal Amirmachmud menginterpretasikan surat tersebut sebagai dari pengalihan kekuasaan atau (transfer of authority), sesuatu yang dibantah kemudian oleh Presiden Sukarno pada saat itu,” ungkap Asvi seperti dilansir dari Historia.
Padahal, kata Asvi, fotokopi Supersemar yang tersimpan di ANRI, meski terdapat berbagai versi, memiliki substansi yang sama, yakni pemberian tugas kepada Jenderal Soeharto untuk pengamanan jalannya pemerintahan dan pengamanan keselamatan pribadi presiden, kemudian melaporkan pelaksanaannya kepada Sukarno. Itu yang tidak sepenuhnya dijalankan Jenderal Soeharto.
“Seandainya arsip Supersemar yang otentik tidak kunjung ditemukan, hal itu tidak mengurangi kelengkapan dari narasi sejarah tentang pergantian kekuasaan pada tahun 1965/1966,” ungkap Asvi.
Aiko Kurasawa dalam bukunya berjudul Peristiwa 1965:

Melihat Supersemar dari sudut pandang Dewi Sukarno, istri Presiden Sukarno dari Jepang. Menurutnya, semula Dewi sama sekali tidak sadar atas seriusnya dampak dari Supersemar itu, malah dia optimis dengan Supersemar akan dapat mengendalikan keadaan. Dewi baru menyadari ketika dia dan Soeharto bermain golf pada 20 Maret 1966.
Soeharto memberi tiga opsi kepada Dewi agar dipilih Sukarno: pergi ke luar negeri untuk beristirahat, tetap tinggal tapi sebagai presiden sebutan saja, atau mengundurkan diri secara total.
Soeharto merekomendasikan opsi pertama dan menyarankan Jepang atau Mekah sebagai tempat peristirahatan.
“Belakangan Dewi memberi kesaksian kepada saya bahwa begitu mendengar tiga opsi saran Soeharto itu, dia baru menyadari bahwa dia dan suaminya telah kalah dalam pertandingan ini,” kata Aiko.
Menurut Sejarawan Jepang, Daniel Dhakidae:
Daniel Dhakidae mengatakan bahwa hampir tidak ada yang tahu pasti apakah benar ada Supersemar. Semua percaya ada, namun buktinya hampir tidak ada. Menurutnya, tandatangan Sukarno dalam Supersemar adalah palsu, apalagi yang satu dengan “Soekarno” yang lain “Sukarno”.
“Dengan demikian sesuatu yang dianggap inti Orde Baru sudah palsu,” kata Daniel.
“Kita membicarakan sesuatu yang sungguh mengerikan, historical inferno. Kalau kita mau melihatnya dari kacamata cause and effect, maka penyebabnya sama sekali sudah tidak penting. Surat itu ada atau tidak menjadi tidak penting karena konsekuensinya begitu brutal. Semua membunuh semua yang dianggap PKI,” ungkap Daniel Seperti dilansir dari Historia.
Dengan dasar Supersemar, Soeharto telah mengeluarkan perintah pertama: bubarkan PKI, kemudian tumpas hingga ke akar-akarnya. Pembunuhan massal pun terjadi.
Setelah Supersemar, masyarakat dan sejarah Indonesia berubah total: tidak lagi extrovert versi Bung Karno yakni imperialisme/kolonialisme versus nasionalisme; tetapi menjadi terlibat versus tidak terlibat, bersih diri versus tidak bersih diri, bersih lingkungan versus tidak bersih lingkungan.
“Ketika memasuki tahap ‘bersih lingkungan’ maka terjadi criminalization of one’s genealogy, garis keturunan ke atas turut memikul beban dosa versi Orde Baru. Yang kakeknya seorang aktivis PKI terkutuk juga meskipun dia belum lahir pada tahun 1965,” kata Daniel.
Sumber: Historia.id, Wikipedia, Kompas.
Lainnya:
- Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak
- Tol Ruas Pondok Aren – Serpong Kilometer 10 Resmi Beroperasi
- Mulai Tanggal 1 Oktober, Tarif Promo LRT Jabodebek Jarak Maksimal Rp 20.000
- Gara-Gara Tidak Pakai Ciput Belasan Rambut Siswi SMP di Lamongan Dicukur Pitak Guru
- Mengintip JPM Dukuh Atas yang Menghubungkan LRT Jabodebek dan KRL ada Tempat Kuliner nya Juga