JAKARTAVIEW.ID, JAKARTA – Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan agar pemberontak komunis segera dihabisi, berujung pada pembunuhan sembilan pemberontak komunis.
Dilansir dari kantor berita Al Jazeera, kesembilan pemberontak komunis itu terbunuh pada sebuah operasi serentak yang dilakukan di Filipina Utara pada, tanggal 7 Maret 2021.
Menurut keterangan dari Kepolisian Filipina, kesembilan pemberontak itu tidak mereka bunuh dengan sengaja.
Baca Juga:
- Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak
- Tol Ruas Pondok Aren – Serpong Kilometer 10 Resmi Beroperasi
- Mulai Tanggal 1 Oktober, Tarif Promo LRT Jabodebek Jarak Maksimal Rp 20.000
- Gara-Gara Tidak Pakai Ciput Belasan Rambut Siswi SMP di Lamongan Dicukur Pitak Guru
- Mengintip JPM Dukuh Atas yang Menghubungkan LRT Jabodebek dan KRL ada Tempat Kuliner nya Juga
Mereka mengklaim melakukannya sebagai bentuk bela diri karena para pemberontak komunis tidak kooperatif saat hendak dilakukan penangkapan.
Total, kata Kepolisian Filipina, mereka seharusnya menangkap 18 orang secara hidup-hidup.
“Kami memiliki surat penangkapan untuk ke 18 orang itu, namun beberapa di antaranya melawan yang berujung pada kematian mereka,” ungkap Kepolisian Filipina dalam keterangan persnya.
Salah satu orang yang terbunuh dalam peristiwa tersebut bernama Emmanuel “Manny” Asuncion. Ia adalah kepala buruh di Provinsi Cavite, tepat di luar Manila. Selain itu, ada juga pasangan suami istri Chai dan Ariel Evangelitsta, koordinator buruh.
Kasus pembunuhan oleh polisi lainnya terjadi di Provinsi Rizal. Menurut laporan dari Al Jazeera, ada dua aktivis yang meninggal di sana akibat dari baku tembak tersebut.
Kelompok Karapatan dan Partai Pemuda Kabataan tidak mempercayai klaim dari Kepolisian Filipina.
Menurut mereka, para pemberontak itu telah dieksekusi, bukan hendak ditangkap. Sebab, beberapa orang yang dinyatakan tewas sebelumnya sempat dikabarkan menghilang.
Sebagai contohnya, kelompok Karapatan mendapati bahwa Chai dan Ariel menghilang bersama anaknya beberapa jam sebelum mereka dinyatakan tewas. Status sang anak masih belum diketahui hingga detik ini.
“Militer dengan mudahnya menurut kepada Presidennya untuk terus membunuh, membunuh, dan membunuh,” ujar Sekretaris Jenderal Karapatan, Cristina Palabay.
Organisasi Non Pemerintah Human Rights Watch (HRW), memiliki kecurigaan yang sama. Menurut mereka, operasi “penangkapan” yang terjadi pekan lalu lebih seperti operasi penyerangan yang terkoordinir.
“Insiden pembunuhan ini jelas bagian dari kian brutalnya kampanye pemerintah untuk menghabisi pemberontak komunis,. Ancamannya terhadap komunis bisa memicu berbagai insiden berdarah seperti yang terjadi pada Perang Terhadap Narkotika,” ujar Deputi Director HRW Asia, Phil Robertson.
Jumat kemarin, Duterte meluncurkan suatu langkah pembalasan terhadap pemberontak komunis di Mindanau.
Menurut Duterte, para komunis itu adalah sebuah ancaman yang harus segera disingkirkan.
Oleh karenanya, ia meminta para tentaranya untuk segera menangkap atau menghabisi mereka jika melawan.
“Saya telah mengatakan kepada Militer dan Kepolisian bahwa jika mereka terjebak di dalam baku tembak dengan komunis, maka warga diperbolehkan untuk membunuh. Namun, pastikan kalian benar-benar menghabisi mereka.”
“Jika ada yang meninggal, pastikan tubuh mereka diterima oleh anggotanya keluarganya. Lupakan HAM, itu perintah saya. Saya tidak takut dimasukkan ke penjara,” kata Duterte.
Lainnya:
- Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak
- Tol Ruas Pondok Aren – Serpong Kilometer 10 Resmi Beroperasi
- Mulai Tanggal 1 Oktober, Tarif Promo LRT Jabodebek Jarak Maksimal Rp 20.000
- Gara-Gara Tidak Pakai Ciput Belasan Rambut Siswi SMP di Lamongan Dicukur Pitak Guru
- Mengintip JPM Dukuh Atas yang Menghubungkan LRT Jabodebek dan KRL ada Tempat Kuliner nya Juga