Ketika Inggris dan Belanda Berperang untuk Perebutkan Pulau Jawa

JAKARTAVIEW.ID, – Batavia, 4 Agustus 1811. Di pantai Cilincing, Jakarta Utara, malam itu gelap gulita. Maklum, belum ada penghuninya seperti sekarang. Di tengah deburan ombak, sepasukan tentara Inggris yang didatangkan dari sebuah armada tanpa diketahui mendarat dengan mulus di pantai yang berada di Teluk Jakarta ini.

Pasukan ini langsung bersiap-siap memasuki pusat kota Batavia. Keesokan harinya (5 Agustus 1811) kesatuan artileri berkuda dengan penuh percaya diri untuk pertama kalinya bergerak ke arah selatan sejauh 1 1/2 jam perjalanan.

Pagi harinya gerakan dilanjutkan ke arah barat tanpa ada perlawanan sedikitpun. Pada 7 Agustus 1811, seluruh pasukan Inggris telah selesai melakukan pendaratan di pantai Cilincing.

Dari pantai mereka lalu menyusur masuk ke pedalaman Batavia, yakni di dekat Meester Cornelis (Jatinegara), kira-kira di kawasan Salemba-Matraman sekarang ini.

Meester Cornelis Jatinegara

Di Meester Cornelis ini sebuah daerah pertahanan Prancis/Belanda yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dapat direbut pasukan Inggris.

Pimpinan pasukan Inggris lantas mengirimkan dua orang perwiranya, Kapten Tylden dan Kapten Dickson, ke pusat kota Batavia untuk menyampaikan syarat-syarat penyerahan. Keduanya ditemui oleh Jaksa Hillebrink yang mewakili pemerintah untuk menyerahkan kota Batavia.

BACA JUGA:

Tidak lama kemudian perwira menengah Inggris, Mayor Thron, dengan dikawal dua pasukan infantri memasuki pusat kota (Jakarta Kota, Pasar Ikan). Acara penyerahan yang dilakukan di balaikota (kini gedung Museum Sejarah Jakarta) ini berlangsung sangat sederhana.

Diceritakan, ketika pasukan Inggris dengan tenangnya menyelusuri jalan-jalan di kota Batavia yang kala itu berpenduduk 50 ribu jiwa tak seorang pun kelihatan berada di jalanan. Kota ini seolah-olah tidak berpenghuni.

Di waktu malam bandit-bandit memasuki rumah penduduk yang kosong menguras harta benda. Sedangkan, tentara Inggris yang sudah tak punya pekerjaan berkeliaran di dalam kota. Karena masih ada kekhawatiran timbulnya serangan mendadak mereka membakar apa saja, seperti pasar dan rumah-rumah penduduk.

Waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah Jansens, pengganti Daendels. Ia memegang amanat pemerintah Prancis yang sejak 20 Pebruari 1811 berkuasa di Batavia setelah Belanda ditaklukkan Prancis.

Karena sikap Jansens inilah para petinggi dan prajuit Belanda dikatakan tidak sungguh-sungguh menghadapi serangan Inggris. Mereka lebih senang bila terlepas dari cengkeraman Prancis. Di Belanda sendiri hubungan mereka lebih akrab dengan Inggris ketimbang Prancis. Lagipula sewaktu negeri Belanda diserang pasukan Prancis atas undangan kaum patriot Belanda, raja Belanda mengungsi ke Inggris.

Selama masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (30 tahun) merupakan salah satu figur yang menonjol dalam sejarah Kota Batavia. Putera seorang kapten ini dalam usia 14 tahun telah menjadi calon kerani dalam kongsi perdagangan Hindia Barat (East India Co.).

Raffles yang kelahiran Yamaika (Amerika Latin) ini sangat rajin memperlajari sastra. Ia terkenal sebagai ahli sastra Melayu, kebudayaan, sejarah, ekonomi, dan politik. Mushi Abdullah, seorang pegawai berkebangsaan India di Malaka, menjadi guru bahasanya.

Sebagai orang yang aktif dan banyak kesibukan, Raffles pun masih punya waktu untuk mengadakan penelitian. Dan setelah pensiunnya dipercepat, ia menghasilkan karya unggulan History of Java sebagai tulisan ilmiah terbaik abad ke-19.

Istri pertama Raffles, Olivia Marianne, meninggal dan dimakamkan di pekuburan Belanda di Tanah Abang I, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Museum Prasasti. Istrinya ini sangat memperhatikan keberadaan Kebun Raya Bogor. Hingga saat ini di muka Kebon Raya Bogor terdapat prasasti tentangnya. Ketiga anaknya yang dilahirkan istri keduanya meninggal di Bengkulu.

Tugu Rafflesia yang dibangun sebagai bukti cinta pemimpin pemerintahan Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles kepada istrinya, Lady Olivia Mariamne

Sepanjang masa kerja selama empat tahun di Batavia, Raffles justru jarang berada di Batavia. Ahli tata negara dan cendekiawan teruji ini lebih menyenangi tinggal di Istana Buitenzorg (Bogor) yang kala itu berhawa sejuk.

Kini Bogor hawanya sudah mulai panas dan digelari kota ‘sejuta angkot’. Ia juga sering tinggal di Istana Cipanas yang kini sudah berubah menjadi sebuah kota kecil. Raffles yang berpandangan jauh telah merombak pemerintah kolonial yang korup dan tidak efisien. Ia juga melarang perdagangan budak belia yang kala itu merupakan gengsi bagi elit Belanda. Raffles memiliki kebijakan meringankan pajak bagi pribumi.

Perhatiannya terhadap seni budaya berpengaruh kepada opsir-opsir Inggris. Mereka mengadakan perkumpulan sandiwara yang mengadakan pertunjukan di dalam bangunan yang terbuat dari bambu. Pada 7 Desember 1821 bangunan ini kemudian diresmikan sebagai Schouwburg yang kini dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta di Pasar Baru.

Raffles memberikan perhatian terhadap masyarakat termasuk para mubaligh yang dinilainya mencapai sukses mensyiarkan Islam. Ia juga memuji cara pendekatan para mubaligh Islam yang tanpa kekerasan. ”Lembaga kesenian dan pengetahuan Batavia harus mencari jalan keluar untuk mengimbangi sukses mubaligh-mubaligh Islam,” tulis Raffles. Maklum ketika itu di Batavia telah berdiri masjid di berbagai tempat yang tidak pernah sepi dari kegiatan dakwah.

LAINNYA:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini