Jalan Dedolarisasi Dunia Sedang Berlangsung

Must Read

JAKARTAVIEW.ID, – Dollar AS perlahan kehilangan dominasi sebagai denominasi utama cadangan devisa internasional. Situasi itu disebut dedolarisasi. Kini proses dedolarisasi itu berlangsung dengan tempo lebih cepat dari yang diperkirakan. Porsi pemakaian dollar AS sebagai alat cadangan devisa internasional anjlok 10 kali lebih cepat pada 2022 dibandingkan dengan kecepatan dedolarisasi selama periode 2002 hingga 2021.

Stephen Jen serta rekannya Joana Freira dari Eurizon SLJ Capital menuliskan dedolarisasi hal itu dalam memo mereka, 18 April lalu. Menurut Jen, porsi penggunaan dollar AS dalam cadangan devisa global anjlok dari 73 persen pada 2001 menjadi 55 persen pada 2021. Sepanjang 2022, porsi tersebut turun lagi menjadi 47 persen.

Berdasarkan data dari Dana Moneter Internasional (IMF), total cadangan devisa global pada kuartal 4 tahun 2022 setara 11,96 triliun dollar AS, tidak termasuk dalam bentuk emas. IMF juga menyebutkan, porsi dollar AS sebagai cadangan devisa mencatatkan porsi terendah dalam 25 tahun terakhir, berdasarkan data IMF pada Mei 2021.

BACA JUGA:

Efek invasi Rusia ke Ukraina

Penurunan porsi dollar AS dalam komposisi cadangan devisa sepanjang 2022 merupakan efek dari tindakan sejumlah negara yang mencari alternatif di luar dollar AS. Ini terjadi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Hal ini terutama dilakukan negara-negara berkembang yang disebut Global South.

Dedolarisasi berlangsung di negara-negara kecil dan blok non-AS. India dan China mendorong internasionalisasi mata uang mereka sebagai alat tukar perdagangan setelah Barat memenggal akses Rusia di dalam jaringan SWIFT, singkatan dari Society for Worldwide International Financial Telecommunications.

Penurunan porsi dollar AS juga karena ada pemikiran, dollar AS mungkin akan menjadi alat politik permanen. Atau jaringan SWIFT berbasis mayoritas dollar AS akan dipakai AS sebagai alat menekan banyak negara lewat pemblokiran transaksi.

Peran dollar AS sebagai alat cadangan devisa global dan alat transaksi internasional memang belum tertandingi segera. Banyak negara berkembang belum mampu beralih dari transaksi dollar AS sehubungan dengan masih meluasnya zona dollar AS. Zona dollar AS merujuk pada besar dan likuidnya peran dollar AS dalam transaksi di pasar global dan juga fungsinya yang lebih efektif, kata Jen dan Freire.

Namun demikian dominasi dollar AS ini bukanlah jaminan akan berlangsung secara permanen. Mungkin akan datang masanya seluruh dunia menghindari pemakaian dollar AS.

“Opini yang tertancap bahwa tidak ada dedollarisasi tampaknya terlalu sempit dan menunjukkan sikap berpuas diri. Hal yang tampaknya perlu diapresiasi adalah, meski Global South belum mampu mencegah pemakaian dollar AS, banyak di antaranya telah mulai enggan memakai dollar AS,” demikian Jen dan Freira.

Gejala mulai terlihat

Business Insider, 18 April, juga menuliskan dominasi dollar AS akan menurun seiring berjalannya waktu. Rusia dan Iran sedang mendalami koin didukung emas untuk transaksi bilateral. Rusia dan Iran juga meningkatkan dedolarisasi, menurut think tank Jamestown Foundation untuk mengatasi hambatan transaksi lewat SWIFT.

Kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) juga mendorong perdagangan non-dollar lewat koin yang didukung emas dan pemakaian devisa dengan denominasi non-dollar AS di dalam BRICS.

Presiden Perancis Emmanuel Macron juga telah mengingatkan risiko ketergantungan pada dollar AS, yang digunakan luas terutama untuk pasar minyak global. Macron berkata, “Jika tensi China-AS memanas, kita tidak punya waktu dan sumber daya untuk membiayai otonomi strategis dan akan menjadi vassals”. Kata vassal merujuk pada status yang tersandera, semisal, Uni Eropa akan dipakai sebagai alat untuk berjuang demi dominasi dollar AS di dunia.

China juga disebut sedang berusaha melemahkan dollar AS lewat kesepakatan energi, terutama dengan Rusia. China menekankan penggunaan yuan dalam jual beli migas dengan Rusia. Pada 18 April, Jared Bernstein, anggota Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih, kepada Komite Perbankan Senat AS mengatakan China memang turut berusaha mendorong dedolarisasi.

Analis dari Kpler, Viktor Katona, mengatakan karena pengaruh China, Rusia efektif menjadi sebuah negara Asia dengan mengenalkan yuan dalam transaksi internasional migas khususnya dengan Asia.

Investor multimiliuner Ray Dalio melihat semangat anti-dollar AS di Beijing. Bank-bank sentral global kurang antusias memegang dollar AS dengan naiknya porsi perdagangan global China dalam denominasi yuan. Bank sentral global mendiversifikasi dollar ke yuan, won (mata uang Korea Selatan) dan krona Swedia.

PM Malaysia Anwar Ibrahim meniupkan lagi ide Asia Monetary Fund sehubungan dengan naiknya peran ekonomi China, Jepang dan lainnya.

Di luar faktor China, Amerika Latin juga sedang mendorong pemakaian kurs bersama. India dan Uni Emirat Arab mendorong transaksi migas dalam rupee. Hal serupa dilakukan China dengan Uni Emirat Arab (UEA), menurut Menteri Perdagangan UEA, Thani bin Ahmed Al Zeyoudi.

Konsekuensi

Dr Nouriel Roubini mengatakan perseteruan geopolitik China versus AS akan terasa dalam bipolarisasi kurs lewat pergeseran komposisi pemakaian cadangan devisa global. Perubahan kekuatan geopolitik secara historis mengubah juga komposisi cadangan devisa global.

Ini mirip perubahan pengalihan pemakaian florin (gulden) Belanda ke poundsterling Inggris menyusul pelemahan posisi Belanda di dunia. Juga mirip perubahan poundsterling ke dollar AS seiring dengan memudarnya kekuatan geopolitik Inggris. Dan ini berlanjut ke proses dedolarisasi ke yuan.

Lalu apa efeknya ke negara dominan? Pemudaran kekuatan dan pelemahan pemakaian mata uangnya, melemahkan posisi, terutama dalam pengenaan sanksi ekonomi. Negara kuat dengan dominasi mata uangnya, bisa menekan transaksi terhadap negara-negara yang ditekan. Seperti dominasi dollar AS, bisa membuat AS menekan transaksi internasional Rusia, seperti dikatakan Jared Bernstein.

Sanksi inilah, walau bisa diatasi Rusia, hanya karena ada China dan Asia. Hal jelas, Rusia kerepotan dengan sanksi Barat. Inilah kekuatan negara dengan dominasi mata uangnya dalam transaksi global.

Ada lagi keuntungan lain yang dimiliki negara dengan mata uang yang dominan dalam transaksi global. Daniel Fried dari Congressional Budget Office, April 2023, menuliskan negara dominan, dalam hal ini AS, akan diuntungkan dengan efek rembesan permintaan global terhadap dollar AS. Ada permintaan besar terhadap aset-aset keuangan dalam denominasi dollar AS. Ini menaikkan peredaran uang di AS dan menurunkan suku bunga serta mendorong investasi AS.

Ada juga manfaat yang diraih negara-negara yang memegang mata uang dominan, dalam hal ini dollar AS. Kekayaan negara-negara pemegang dollar AS relatif aman dalam hal terjadinya krisis global sebab dollar AS menjadi aset berstatus safe haven. Walau tidak terjadi resesi, aset dalam dollar AS juga relatif aman dan bahkan menguat.

Kerugian

Tentu ada kerugian bagi AS sebagai negara dengan dominasi mata uang, apalagi jika produktivitasnya tidak meningkat. AS akan terus berkonsumsi dengan topangan uang negara lain yang membeli dollar AS. Ini turut meningkatkan defisit perdagangan dan defisit anggaran pemerintah.

Keuntungannya, defisit ini bisa bertahan lama bahkan bertahun-tahun seperti yang dialami AS sekarang ini. Akan tetapi tetap ada batas efek positif dari dominasi mata uang global. Defisit tidak akan berlangsung abadi. Negara dominan dengan defisit menahun itu akhirnya akan menemukan titik akhir pada suatu waktu. Sekarang inilah yang relatif merupakan titik akhir itu. Dipicu pelemahan ekonomi, posisi geopolitik AS juga memudar.

Menurut mantan Menkeu AS, Lawrence Summers, pemudaran dollar AS, hanya merupakan masalah kecil bagi AS. Masalah utama AS, kata Summers, adalah pembenahan perekonomian AS, pengurangan defisit perdagangan, defisit anggaran dan pemulihan kekuatan ekonomi. Namun, di titik inilah AS masih menemukan jalan buntu. Tidak ada terobosan di AS untuk memulihkan perekonomian seperti sedia kala.

Harimau-buaya

Dengan demikian, proses dedollarisasi merupakan hal yang tidak terhindarkan di depan, dan salah satu arahnya adalah yuan atau renmimbi. Bagi negara-negara pinggiran, dengan demikian secara teroritis cukup hanya melakukan dedollarisasi agar nilai kekayaannya tidak merosot sehubungan dengan potensi penguatan yuan.

Hanya saja, posisi negara-negara pinggiran tetap saja sama. Berpindah dari dollar AS ke yuan, hanya mirip dengan langkah keluar dari mulut harimau tetapi masuk ke mulut buaya. Negara-negara pinggiran yang tidak memiliki cadangan devisa kuat, akan terus menjadi korban penguatan mata uang dominan.

Indonesia misalnya, sudah mengalami jatuh bangunnya rupiah akibat penguatan kurs dollar AS sekian tahun dan sedang mengalami hal serupa dengan penguatan dollar AS sejak awal 2022 karena kenaikan suku bunga di AS.

Akan tetapi Asia akan diuntungkan dengan dedollarisasi, apalagi menuju yuan yang dominan. Kedekatan geografi yang menolong kedekatan ekonomi, membuat dominasi yuan akan menguntungkan dalam transaksi di kawasan Asia.

Sumber: (REUTERS/AP/AFP).

LAINNYA:

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest News

Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak

JAKARTAVIEW.ID, - PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter mencatat kenaikan jumlah penumpang pada 2 stasiun yang terintegrasi dengan...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -