JAKARTAVIEW.ID, JAKARTA – Presiden Joko Widodo telah menandatangani regulasi turunan dari UU Cipta Kerja yang membuka peluang bagi investasi minuman keras (miras). Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, investasi miras diizinkan di 4 provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.
Dikutip dari kumparan news, dari lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021, ada 46 bidang usaha yang masuk dalam kategori terbuka dengan persyaratan khusus. Tiga di antaranya adalah Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol, Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol: Anggur, dan Industri Minuman Mengandung Malt.
Masing-masing tertera di urutan nomor 31, 32, dan 33, lampiran Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021 tersebut. Ada pun persyaratan khusus yang dimaksud untuk industri minuman keras, yakni untuk investasi baru hanya dapat dilakukan di 4 provinsi.
“Untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat,” demikian yang tertulis dalam lampiran Perpres tersebut.
Baca Juga:
- Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak
- Tol Ruas Pondok Aren – Serpong Kilometer 10 Resmi Beroperasi
- Mulai Tanggal 1 Oktober, Tarif Promo LRT Jabodebek Jarak Maksimal Rp 20.000
- Gara-Gara Tidak Pakai Ciput Belasan Rambut Siswi SMP di Lamongan Dicukur Pitak Guru
- Mengintip JPM Dukuh Atas yang Menghubungkan LRT Jabodebek dan KRL ada Tempat Kuliner nya Juga
PKS hingga MUI Tolak Rencana Investasi Miras Jokowi
Menanggapi dibukanya peluang investasi dalam industri miras, Wakil Ketua MUI, KH Anwar Abbas, mengungkapkan kekecewaannya. Dia menilai kebijakan ini lebih mengedepankan kepentingan dunia usaha daripada rakyat banyak.
“Saya benar-benar kecewa dan tidak mengerti, mengapa pemerintah menetapkan industri minuman keras yang sebelumnya masuk ke dalam kategori bidang usaha tertutup, namun sekarang dimasukkan ke dalam kategori usaha terbuka. Ini merupakan dampak disahkannya UU Cipta Kerja yang lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” kata KH Anwar Abbas.
Senada dengan MUI, Wakil Ketua MPR yang juga Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid mengaku sangat prihatin dengan adanya keputusan ini.
“Ini salah satu bahaya yang nyata dari miras, yang justru industrinya kini mau dibuka keran untuk investasi oleh Presiden. Sekali pun disebut beberapa daerahnya, tapi tak ada aturan yang melarang penyebaran konsumsi dengan segala dampak negatifnya,” kata Hidayat dalam keterangannya yang diterima kumparan, Jumat (26/2).
Anggota DPR RI dari Komisi VIII ini berharap Jokowi segera menarik Perpres soal investasi miras tersebut. Di media sosial pun ramai tagar penolakan dibukanya investasi miras ini.
Pemprov DKI Lebih Dulu Mempunyai Pabrik Bir
Jauh sebelum Presiden Jokowi memberi lampu hijau untuk izin investasi minuman keras (miras) di 4 provinsi di Indonesia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sudah lebih dulu memiliki perusahaan dan pabrik bir. Kepemilikan tersebut tercatat di dalam perusahaan PT Delta Djakarta Tbk (DLTA).
Di sini, Pemprov DKI Jakarta memegang saham sampai dengan 26,25 persen. Dikutip dari situs Delta Djakarta, Perseroan memiliki pabrik bir di daerah Bekasi Jawa Barat. Pabrik tersebut telah memproduksi berbagai jenis brand miras seperti Anker Beer, Anker Lychee, Anker Stout, Carlsberg, Kuda Putih, San Miguel Light, San Miguel Pale Pilsen, dan San Miguel Cerveza Negra.
Secara kinerja keuangan, Delta Djakarta memiliki catatan yang di nilai positif. Namun, perusahaan bir ini mengalami penurunan pendapatan selama pandemi Covid-19 ini. Pada kuartal III 2020, penjualan Perseroan tercatat Rp 349,07 miliar atau turun 42,36 persen. Hal serupa juga terjadi pada laba bersih, yakni dari Rp 220,92 miliar di kuartal III 2019 menjadi Rp 70,68 miliar di kuartal III 2020.
Pada 2018 lalu, muncul wacana Pemprov DKI Jakarta untuk melepaskan saham DLTA. Hal ini diungkapkan oleh Sandiaga Uno yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI dari Jakarta.
Namun hingga Sandiaga Uno sudah tak lagi menjabat di posisi wakil gubernur, wacana Pemprov DKI Jakarta melepas kepemilikan sahamnya di Delta Djakarta tak kunjung terealisasi sampai sekarang.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta telah menguasai hampir 26,25 persen atau setara 210.200.700 lembar saham di pabrik bir Delta Djakarta. Selagi masih menjadi pemegang saham, Pemprov DKI Jakarta setiap tahunnya menerima dividen atau pemasukan dari Delta Djakarta. Mengutip laporan keuangan Delta Djakarta Tahun 2019, Pemprov DKI menerima setoran dividen Rp 100,46 miliar yang dihasilkan dari kinerja keuangan 2018.
Sejarah Minuman Keras di Indonesia
Arak atau minuman fermentasi tradisional sudah dikenal lama di Indonesia, bahkan sejak zaman kerajaan-kerajaan Kuno di Nusantara.
“Catatan tertua tentang minuman fermentasi ada di dalam beberapa prasasti dan naskah kuno Jawa, mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-13,” jelas sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung, Fadly Rahman, Di lansir dari CNN Indonesia
“Banyak minuman fermentasi yang diolah dari nira, beras, ketan, dan namanya pun bervariasi,” imbuh penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) yang merupakan hasil tesisnya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Begitu pula saat Nusantara dijajah Belanda dan memasuki masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Jika para pejabat atau orang-orang Belanda yang ada di Indonesia suka menggelar pesta dengan menyajikan miras khas Eropa, maka rakyat jelata lebih akrab dengan arak, tuak, atau ciu dan di Indonesia Timur ada cap tikus, sopi dan masih banyak lainnya
Orang-orang Eropa atau Belanda yang ada di Indonesia juga melirik arak atau minuman beralkohol, untuk dibisniskan. Salah satunya adalah kehadiran minuman beralkohol yang dikenal dengan merek Batavia Arrack van Oosten.
J. David Owens dalam Indigenous Fermented Foods of Southeast Asia (2014) mengungkapkan bahwa, produksi arak Batavia dimulai di Batavia (kini Jakarta) pada 1743. Batavia Arrack van Oosten mengandung 50 persen alkohol dan menjadi terkenal pada abad ke-18 di seluruh Indonesia.
Bahkan, Batavia Arrack van Oosten ini disukai oleh orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda atau Indonesia waktu itu sehingga sering dibawa pulang dan namanya lumayan populer di negara-negara Barat pada saat itu.
Sebab bagaimanapun juga, minuman alkohol tetap mempunyai fungsi dalam konstruksi tradisi di Indonesia, Terlebih Indonesia bagian Timur, seperti dalam upacara adat. Minuman alkohol juga memiliki fungsi ekonomi yang harus disikapi secara bijak oleh banyak orang di Indonesia.
Lainnya:
- Stasiun KRL Terintegrasi Dengan LRT Jabodebek, Jumlah Penumpang Ikut Melonjak
- Tol Ruas Pondok Aren – Serpong Kilometer 10 Resmi Beroperasi
- Mulai Tanggal 1 Oktober, Tarif Promo LRT Jabodebek Jarak Maksimal Rp 20.000
- Gara-Gara Tidak Pakai Ciput Belasan Rambut Siswi SMP di Lamongan Dicukur Pitak Guru
- Mengintip JPM Dukuh Atas yang Menghubungkan LRT Jabodebek dan KRL ada Tempat Kuliner nya Juga